Mengagumi Manuskrip Aceh di Malaysia



TERUS terang, ketakjuban akan manuskrip kuno mengenai Aceh di Malaysia-lah yang mendorong saya menulis risalah ini. Saya tulis naskah ini di notebook saat berada pas di depan ruang pamer Galeri Manuskrip Naskah Aceh. Galeri ini berada di Koleksi Manuskrip Perpustakaan Tun Seri Lanang (PTSL) Universiti Kebangsaan Malaysia (UKM), tempat saya saat ini menimba ilmu untuk meraih gelar doktor.


Koleksi manuskrip ini terletak di lantai 6, lantai tertinggi di gedung PTSL. Penempatannya pada lantai tersebut, saya duga karena yang disimpan dalam ruangan ini merupakan bahan-bahan yang sangat bernilai tinggi.



Encik Syahrul, Encik Zul, dan Cik Ros adalah tiga pegawai perpustakaan bidang koleksi manuskrip yang telah membantu saya pada Oktober 2011 ini untuk melihat bentuk dan membaca sepintas manuskrip peninggalan Kerajaan Aceh pada masa-masa keemasan dulu, yakni abad ke 16-17 di PTSL UKM.


Alhasil tahulah saya bahwa Dr Abdullah Sani (2005), penulis buku “Nilai Sastra Ketatanegaraan dan Undang-Undang dalam Kanun Syarak Kerajaan Aceh dan Bustanus Salatin” yang diterbitkan UKM pernah “bertapa” menghabiskan waktunya setahun di ruangan ini untuk membuka, membedah, dan membolak-balik manuskrip Aceh.


Dari katalog yang saya ambil pada rak di sebelah kiri pintu masuk, ada sebuah buku katalog khusus tentang manuskrip naskah Aceh yang diberi judul “Manuskrip Naskah Acheh Satu Senarai”. Saya semakin takjub ketika membaca satu demi satu daftar katalog tersebut.


Ternyata, ada 29 judul manuskrip Aceh yang tersimpan rapi di rak dan beberapa di antaranya dipajang dalam meja kaca pada ruang galeri dalam ruangan di depan saya. Lima di antaranya adalah Sejarah Aceh, Kisah Riwayat Acheh, Kanun Syara’ Kerajaan Acheh Sultan Alauddin, Peta Acheh dan Susunan Kabinet Pemerintahan Acheh, Salasilah Taraf hulubalang serta Hukum Laut dan Dagang.



Barangkali bagi Ali Hasjmy (penulis buku Iskandar Muda Meukuta Alam, 1975), Mohammad Said (penulis buku Aceh Sepanjang Abad, 1961, 1979, 1995), Abdullah Sani (2005), M Adli Abdullah (kolumnis dan penulis buku Membedah Sejarah Aceh, 2011), dan banyak lagi lainnya yang telah menulis sejarah Aceh, akan menganggap temuan manuskrip tersebut hal yang biasa saja.


Tetapi bagi saya, melihat beberapa naskah manuskrip saja seperti Naskah Kanun Syara’ Kerajaan Acheh, Peta Acheh dan Susunan Kabinet Pemerintahan Acheh, Salasilah Taraf Hulubalang serta Hukum Laut dan Dagang, Hukum Kapal-kapal Asing yang Berlayar di Perairan Kerajaan Acheh, merupakan suatu ketakjuban yang luar biasa. Untuk pertama kalinya, wujud dari bacaan semua itu dapat saya lihat dan raba dalam bentuk yang konkret. Alhamdulillah, luar biasa.


Apa yang disebut oleh Sulaiman Tripa dalam bukunya Melawan Lupa (2011) memang patut dicerna bahwa sangatlah penting setiap kejadian dicatat dan ditulis agar dapat diingat kejadiannya dari masa ke masa. Tentulah manuskrip yang sangat bernilai tersebut merupakan peninggalan yang telah ditulis oleh pendahulu, karena mereka tahu pasti bahwa catatan mereka akan dipelajari dan dimanfaatkan oleh penerus mereka.

Tapi sayangnya, manuskrip-manuskrip tersebut saat ini berada di negeri tetangga Malaysia. Siapa yang akan mengembalikan bahan berharga tersebut ke Negeri Aceh secara utuh atau setidaknya dalam bentuk salinan atau kopiannya, lalu kita terjemahkan ke dalam bahasa Aceh, Melayu, Indonesia, dan Inggris?

T. Muttaqin Mansur
Dosen Fakultas Hukum Unsyiah,
Mahasiswa Doktoral Fakulti Undang-undang Universiti Kebangsaan,