Nasib Korban Tragedi 1965 : Masih Adakah yang Peduli?

Gerakan 30 September 1965 merupakan tragedi dalam sejarah Indonesia. PKI yang merupakan salah satu kekuatan politik terbesar sebelum meletusnya G30S, mengalami nasib yang naas setelah meletusnya gerakan tersebut. PKI diduga kuat oleh Angkatan Darat sebagai dalang dari G30S. Stigma sadis dan keji disematkan oleh Angkatan Darat kepada PKI atas penculikan, penyiksaan, dan pembunuhan yang dilakukan terhadap tujuh perwira tinggi Angkatan Darat. Stigma tersebut segera memancing amarah masyarakat yang kemudian serentak di berbagai daerah memberangus aktivis dan simpatisan PKI beserta segenap organisasi underbouwnya. Mereka yang terlibat dan diduga terlibat, ditangkap dan dipenjarakan tanpa melalui proses hukum terlebih dahulu. Penangkapan dan penahanan terhadap aktivis dan simpatisan PKI berlangsung sampai tahun 1973. Dalam rentang waktu antara tahun 1965-1967, telah terjadi pula pembunuhan secara besar-besaran terhadap aktivis dan simpatisan PKI di berbagai daerah. Robert Cribb dalam buku Palu Arit di Ladang Tebu menyebutkan bahwa jumlah keseluruhan korban antara tahun 1965-1966 mencapai angka 500.000 jiwa. Selain temuan Robert Cribb, masih banyak temuan ahli lainnya mengenai jumlah korban pembunuhan massal tersebut.


G30S dilatarbelakangi oleh pertentangan antara dua kutub politik saat itu yaitu PKI dan Angkatan Darat (AD). Kedekatan PKI dengan Presiden Soekarno jelas membahayakan posisi Angkatan Darat dalam peta persaingan politik pada saat itu. PKI melancarkan isu Dewan Jenderal sebagai sarana propaganda kepada Bung Karno bahwa ada beberapa perwira tinggi AD yang ingin merebut kekuasaan. Di dalam tubuh AD sendiri telah terjadi perpecahan dengan banyaknya perwira menengahnya yang menjadi anggota PKI. Seiring dengan beredarnya isu bahwa Bung Karno sakit keras, muncul spekulasi tentang siapa pengganti beliau. Tak ingin didahului oleh AD, Aidit, Politbiro PKI, dan beberapa perwira menengah AD yang telah diinfiltrasi oleh PKI merencanakan suatu gerakan untuk mengamankan posisi mereka jika kelak Bung Karno wafat. Gerakan tersebut dinamakan Gerakan Tiga Puluh September (G30S) dan dipimpin oleh Letkol Untung yang merupakan Komandan Resimen Cakrabirawa.



Tragedi 1965 menyisakan penderitaan dan trauma berkepanjangan bagi orang-orang yang menjadi korban dari tragedi tersebut. Orang-orang yang secara sengaja maupun tidak sengaja terlibat dan dilibatkan dalam G30S mendapat perlakuan yang tidak adil dari pemerintah, masyarakat, bahkan lingkungan sekitarnya. Mereka mau tidak mau harus menerima stigma buruk yang disematkan oleh pemerintah dan masyarakat pada dirinya. Stigma buruk tersebut melekat pada diri mereka sebagai akibat dari keterlibatan mereka baik secara sengaja maupun tidak dengan PKI yang oleh pemerintah dianggap sebagai dalang dibalik G30S. Kerterlibatan mereka dengan organisasi tersebut seharusnya tidak serta-merta mengaitkan mereka dengan G30S. Bahkan di sebagian besar daerah di luar Jawa, para aktivis dan simpatisan partai tidak mengetahui tentang rencana kudeta tersebut. Wajar apabila kemudian Soekarno tidak mau membubarkan PKI karena menurut anggapannya bukan PKI secara kolektif yang melakukan coup d’etat tetapi beberapa pemimpin PKI yang keblinger.


46 tahun setelah tragedi tersebut, masyarakat Indonesia masih saja phobia terhadap komunisme. Hal tersebut adalah akibat dari stigmatisasi buruk terhadap PKI dan komunisme yang dilakukan oleh pemerintah Orde Baru. Stigmatisasi tersebut juga mengakibatkan para eks tahanan politik (tapol), mendapatkan perlakuan yang tidak adil baik dari pemerintah, masyarakat, maupun lingkungan sekitar. Mereka yang terlibat dan dituduh terlibat harus menjalani hari-hari yang penuh penderitaan bahkan setelah Orde Baru runtuh. Upaya rekonsiliasi yang dilakukan oleh pemerintah terhadap para eks tapol terkesan “setengah hati”. Gus Dur sebagai warga Nahdatul Ulama dan Presiden Republik Indonesia sempat meminta maaf kepada para korban Tragedi 65 sebagai bentuk rekonsiliasi tetapi setelah Gus Dur, tidak ada pihak yang secara serius meneruskan itikad baik tersebut. Stigma yang telah disematkan pemerintah Orde Baru kepada korban Tragedi 65 membatasi hak-hak hidup mereka sebagai warga negara. Walaupun telah bebas dari bui, mereka tetap diwajibkan melapor, di KTP mereka dibubuhi tanda ET (Eks Tapol), keluarga mereka tidak dapat menjadi pegawai negeri sipil, wawasan mereka dipersempit dengan dibatasinya akses pendidikan dan yang lebih menyakitkan adalah mereka dikucilkan dalam pergaulan di masyarakat.


Saat ini yang perlu dilakukan oleh masyarakat khususnya generasi muda terkait upaya rekonsiliasi korban kekerasan dan eks tapol Tragedi 65 adalah dengan “meluruskan” kembali pemahaman kita tentang sejarah Tragedi 65. Banyaknya versi sejarah yang beredar mengenai G30S setelah runtuhnya Orde Baru memberikan kesempatan kepada khalayak untuk kembali memaknai dan memahami apa yang sebenarnya terjadi dibalik tragedi tersebut. Pemahaman yang bijak tentang sejarah Tragedi 65 setidaknya dapat menghapus stigma buruk yang telah mereka sandang sejak 46 tahun yang lalu. Jelas hal tersebut bukan hanya tugas sejarawan tetapi tugas semua pihak termasuk generasi muda yang merupakan agent of intelectual. Generasi muda hendaknya menjadi generasi yang sadar sejarah sehingga tidak selalu menjadi korban politisasi sejarah oleh penguasa dan elite politik.

Jefrianto

Penulis adalah Mahasiswa Pendidikan Sejarah Universitas Tadulako
Aktif di Kelompok Diskusi Komunitas Batu Karang