Pancasila

Bisa jadi Soekarno ialah penemu Pancasila pada 1 juni 1945. “Seperti ubi yang ditemukan peladang ketika mereka mencangkul pada suatu pagi sehabis bermimpi,” Pancasila, seperti ubi. Metafora ini ditulis Goenawan Mohammad (GM) dalam catatan pinggir tanggal 12 September 1981 (Catatan Pinggir, Pustaka Utama Grafiti, halaman 108).

“Cangkulan” pertama Bung Karno tak diayunkan pada 1 Juni 1945, melainkan jauh sebelum itu. Yang pasti. bung Karno telah melangkah dari satu titik ke titik lain dengan menanam pohon kebangsaan tentang Indonesia yang gemilang, gemah ripah loh jinawi tata tentrem kerta raharja.

Bagi bung Karno, Pancasila adalah ajaran tentang moral, sportivitas dan pelestarian revitaliasi orientasi nasionalisme. Di dalamnya tersimpan kemajemukan status yang mengeliminasi ego hingga ke tingkat dasar demi mencapai cita-cita mulia yang bersifat majemuk. Mpu Tantular mentakwilkannya dalam kalimat ‘Bhinneka Tunggal Ika Tan Hana Dharma Mangrwa”.

Awalnya. Ada lima dasar negara yang diajukan oleh bung Karno, yaitu: kebangsaan, internasionalisme, mufakat, kesejahteraan, dan ketuhanan. Kelima dasar ini disebut oleh bung Karno sebagai Pancasila, ‘panca’ berarti lima, dan ‘sila’ berarti dasar atau asas. Namun, bung Karno juga menawarkan penyederhanaan kelima prinsip ini menjadi tiga prinsip saja dan satu prinsip saja. Bila disederhanakan menjadi 3 prinsip (Tri sila), yang diajukan oleh bung Karno adalah socio-nationalisme, socio-democratie, dan ke-Tuhanan. Sedangkan, bila disederhanakan menjadi 1 prinsip (Eka Sila), maka yang diajukan oleh Soekarno adalah prinsip gotong royong. Menurut bung Karno, gotong-royong adalah satu paham yang dinamis, dan bahkan lebih dinamis dari kekeluargaan. Gotong royong menggambarkan satu usaha, satu amal, satu pekerjaan. Sehingga, amal semua buat kepentingan semua, keringat semua buat kebahagiaan semua.

…ketika perumusan Pancasila ditata kembali secara bersama-sama oleh para peletak dasar Republik, Bung Karno tidak berkeberataan. Yang penting bukan saja dia tak menyatakan diri sebagai pemegang hak cipta perumusan itu.

Kita membutuhkan Pancasila kembali karena ia merupakan proses negosiasi terus menerus dari sebuah bangsa yang tak pernah tunggal, tak sepenuhnya bisa ‘eka, dan tak ada yang bisa sepenuhnya meyakinkan bahwa dirinya, kaumnya, mewakili sesuatu yang Maha Benar. Kita mmebutuhkan Pancasila kembali.

Dengan Pancasila sebagai etika, dapat menjadi dasar dari demokrasi yang produktif. Kerja bersama untuk kesejahteraan bersama dapat diterjemahkan ke dalam pembagian peran dan tanggung jawab antara negara, pasar dan masyarakat dalam mewujudkan kesejahteraan. Paradigma ekonomi Pancasila harus diturunkan ke dalam kebijakan-kebijakan publik dalam bangunan demokrasi yang kokoh sehinga dapat memastikan output yang berpihak pada kemanfaatan bagi orang banyak. Sudah bukan waktunya untuk mendebatkan apakah kita akan menerima mekanisme pasar atau tidak, namun mekanisme pasar yang bagaimana yang dapat mewujudkan kesejahteraan dan bagaimana peran negara yang mendapat mandat dari kontrak sosial dapat mengamankan dan melindungi kepentingan orang banyak.

Pancasila adalah sintesa semangat jaman dan harus terus berdialektika dengan perubahan jaman sehingga tetap relevan dan bermakna bagi bangsa Indonesia.

Erucakra Dito