PERKEMBANGAN HISTORIS STUDI HADIS DI BARAT: DARI FASE REVISIONIS BARAT HINGGA FASE NEO-SKEPTISISME Tafsir Hadis, Ushuluddin, UIN Sunan Gunung Djati

Perkembangan historis studi hadis di Barat dapat dipetakan menjadi empat fase. Pertama, fase skeptisisme Barat awal yang kemudian dikenal sebagai revisionis Barat. Kedua, fase reaksi terhadap skeptisisme. Ketiga, fase upaya mencari jalan tengah. Keempat adalah fase neo-skeptisisme. Goldziher dan Schacht dapat dimasukkan ke dalam fase pertama, fase skeptisisme Barat awal karena dua tokoh ini sama-sama meragukan autentisitas hadis. Goldziher menyatakan keraguannya atas autentisitas hadis. Setelah mengkaji berbagai materi hadis di berbagai koleksi kanonik, ia cenderung kepada “sikap hati-hati yang skeptis daripada sikap percaya yang optimis”. Goldziher menyimpulkan bahwa sebagian besar hadis merupakan akibat dari perkembangan Islam secara agamis, historis, dan sosial selama dua abad pertama Islam. Skeptisisme Schacht terhadap autentisitas hadis lebih tegas daripada skeptisisme Goldziher. Schacht menyatakan,”Kita tidak menemukan suatu hadis dari nabi saw. yang terkait dengan persoalan hukum yang dapat dianggap sebagai hadis shahih. Menurut Schacht, baik aliran fikih klasik maupun ahli hadis sama-sama memalsukan hadis dengan cara menyandarkan hadis yang dipalsukan itu kepada otoritas yang lebih tua, yakni kepada generasi tabiin, lalu kepada generasi shahabat, dan akhirnya kepada nabi saw.

Fase kedua adalah fase reaksi terhadap skeptisisme. Nabia Abbott, salah satu figur dalam fase ini, telah membuktikan kekeliruan temuan Goldziher. Menurut Abbott, praktik penulisan hadis sudah terjadi sejak masa hidup nabi saw. dan terus berjalan secara berkesinambungan hingga munculnya kitab-kitab kanonik. Abbott juga menyatakan bahwa perkembangan hadis secara besar-besaran pada abad II dan III H. bukan karena pemalsuan matan hadis, tetapi karena perkembangan jalur isnad yang berlipat ganda. Azami kemudian mengadopsi teori-teori Abbott untuk mempertahankan hadis dari berbagai kritik Joseph Schacht. Dalam beberapa tulisannya, Azami menyatakan bahwa tidak ada alasan untuk menolak sistem isnad karena ia adalah sistem yang dapat dipercaya. Tentang penulisan hadis, Azami berpendapat bahwa hadis telah ditulis sejak masa hidup nabi saw. dan terus berlanjut hingga masa al-kutub al-sittah. Azami juga mengkritik teori backward projection yang menurutnya tidak dapat diterima karena tidak berdasarkan fakta-fakta historis. Menurutnya, sangat sulit membayangkan adanya pemalsuan hadis yang dilakukan oleh sejumlah periwayat hadis yang tempat tinggalnya saling berjauhan.

Fase ketiga adalah fase upaya mencari jalan tengah. Yang termasuk ke dalam fase ini adalah Fazlur Rahman, G.H.A. Juynboll, Harald Motzki, dan Yasin Dutton. Tokoh-tokoh ini, di satu sisi, keberatan dengan pandangan skeptisisme Goldziher dan Schacht dan, di sisi lain, mereka juga tidak mau menerima begitu saja teori-teori Abbott dan Azami yang menerima autentisitas hadis berdasarkan penyandaran semata, seperti yang terdapat dalam isnad. Fazlur Rahman menempati posisi unik di antara para pengkaji hadis di Barat. Di satu sisi, ia menerima pandangan skeptis Goldziher, dan di sisi lain, ia ragu untuk mengatakan bahwa hadis-hadis di berbagai koleksi kanonik adalah palsu. Menurut Rahman, walaupun hadis itu secara verbal tidak berasal dari nabi saw., tetapi semangatnya berasal darinya karena hadis merupakan penafsiran dan perumusan situasional dari semangat kenabian. G.H.A. Juynboll dipengaruhi oleh karya Schacht dan memperhalus teori-teori Schacht, khususnya teori common link untuk menelusuri asal mula hadis pada masa awal Islam. Namun, ia juga tidak setuju dengan pandangan Schacht yang sangat skeptis terhadap autentisitas hadis. Secara keseluruhan, ia tidak percaya kepada nilai historis dari sebuah isnad hadis, tetapi mendorong untuk memberi penanggalan hadis tidak lebih awal daripada akhir abad pertama, yang lebih awal daripada penanggalan hadis oleh Schacht. Harald Motzki menggunakan metode tradition historical untuk menemukan sumber hadis autentik abad I H. Metode ini bekerja dengan cara menarik sumber-sumber awal dari kompilasi yang ada, yang tidak terpelihara sebagai karya-karya terpisah dan menfokuskan diri pada materi-materi para periwayat tertentu ketimbang pada hadis-hadis yang terkumpul pada topik tertentu. Motzki menfokuskan diri pada Mushannaf Abdurrazzaq al-Shan’ani (w.211 H). Motzki menganalisa struktur transmisi dari empat sumber dominan Abdurrazzaq: Ma’mar b. Rasyid, Ibnu Jurayj, al-Tsawri, dan Ibnu Uyaynah. Hasilnya adalah bahwa empat koleksi teks tersebut memiliki kekhasan masing-masing. Menurut Motzki, kekhasan masing-masing struktur menunjukkan bahwa tidak mungkin seorang pemalsu menyusun materi dalam susunan spesifik yang akan membuat teks diwarnai dengan perbedaan-perbedaan yang sangat signifikan. Ini menunjukkan bahwa Abdurrazzaq tidak memalsukan hadis-hadisnya dalam Mushannaf. Yasin Dutton dapat dimasukkan ke dalam fase ketiga karena Yasin Dutton mengemukakan sebuah konsep ‘amal penduduk Madinah. Pandangan Yasin Dutton adalah pandangan yang walaupun bersifat tradisional, tetapi ia berbeda dengan pendapat klasik (pasca-Syafi’i), dan walaupun secara esensial ia bertentangan dengan pendapat para revisionist Barat, tetapi ia memiliki persamaan dengannya. Pandangan ini diperoleh setelah Yasin Dutton melakukan penelitian terhadap Muwaththa’, karya Imam Malik. Namun, menurut Dutton, kajiannya tidak dimaksudkan untuk membuktikan kesalahan teori revisionist Barat dan pandangan klasik Pasca-Syafi’i, melainkan untuk menunjukkan bahwa pendapat ini memiliki sumber-sumber yang cukup kuat. Pendapat ini memberikan sebuah perspektif yang secara fundamental berbeda tentang sejarah hukum Islam yang dipandang tidak terpelihara dalam sebuah teks, tetapi dalam tradisi (‘amal) masyarakat Madinah.

Fase keempat adalah fase neo-skeptisisme. Michael Cook dan Norman Calder, dua tokoh dalam fase ini lebih skeptis daripada Goldziher dan Schacht. Secara umum, perhatian Cook dan Calder tertuju pada autentitas, kronologi dan kepengarangan hadis. Jika Cook berangkat dari hadis-hadis teologi, maka Calder berangkat dari hadis-hadis hukum. Persamaannya terletak pada pendapat keduanya bahwa teori common link tidak dapat digunakan untuk menelusuri asal mula hadis. Menurut Cook, munculnya fenomena common link adalah akibat dari proses penyebaran isnad dalam skala besar. Fenomena common link tidak menunjukkan bahwa sebuah hadis benar-benar bersumber dari seorang periwayat kunci. Calder juga mengingkari validitas metode common link. Baginya, fenomena common link sangat terkait dengan kompetisi antar berbagai madzhab fikih di masyarakat Islam pada paroh kedua abad ketiga hijrah.

Wallahu A’lam bi al-Shawab
Ali Masrur Abdul Ghaffar