Riwayat Pergeseran Makna Aswaja

Generasi Sahabat Rasulullah, tabi’in, dan tabi’ut tabi’in biasa disebut salaf ash-shalih, para pendahulu yang baik. Semula, mereka dan para pengikut mereka disebut dengan ahlus sunnah atau juga ahlus sunnah wal jama’ah, sebagaimana yang dimaksud Abdullah bin Abbas ketika menafsirkan ayat ke-106 surat Ali Imran.



Akan tetapi, sejak abad ke-4 Hijriah, istilah ahlus sunnah wal jama’ah mulai diperuntukkan kepada orang-orang yang mengikuti keyakinan Asy’ariyah dan—terkadang juga—Maturidiyah seperti sekarang ini. Pada abad ke-8 Hijriah, Ibnu Taimiyah menjadi salah seorang yang berusaha mengungkap salah kaprah tersebut. Mengenalkan metode untuk memahami Al-Qur’an dan hadits dengan pemahaman para salaf ash-shalih, Ibnu Taimiyah justru mendapatkan berbagai cemooh dan fitnah sekaligus mengantarkannya ke penjara dan meninggal-dunia di sana.



Kita dapat mulai mencari jawab atas pertanyaan itu dengan memerhatikan peristiwa yang terjadi pada masa Ahmad bin Hanbal. Pada masa itu terjadi apa yang sering disebut dalam buku-buku sejarah sebagai peristiwa al-mihnah. Peristiwa itu dimulai pada 218 H.



Peristiwa al-mihnah atau sering juga disebut dengan ayyam al-mihnah adalah bentuk serangan kaum rasionalis, dalam hal ini kelompok Mu’tazilah, terhadap keyakinan yang ada di tengah kaum muslimin waktu itu, ahlus sunnah wal jama’ah. Namun, serangan itu gagal. Kegagalan serangan itu dan refresi dari pihak penguasa hanya menambah derajat keengganan banyak orang untuk beragama dengan prinsip-prinsip Mu’tazilah. (Lihat http://sejarah.kompasiana.com/2011/02/02/biografi-ahmad-bin-hanbal/)




Meski demikian, kegagalan mereka itu tidak membuat mereka surut dengan keyakinan Mu’tazilah mereka. Sebaliknya, mereka masih diperkenankan penguasa untuk tinggal di Baghdad serta sejumlah kota yang ada dan mengajarkan prinsip-prinsip mereka. Dalam sebuah ibarat, Abu Bakar Ash-Shairufi berkomentar, “Mereka masih dapat menegakkan kepala-kepala mereka.”



Sebagai minoritas, harus diakui, orang-orang Mu’tazilah tetap menjadi semacam ganjalan di tengah kaum muslimin waktu itu. Dengan bantuan filsafat, orang-orang Mu’tazilah terus menyiapkan seperangkat metode untuk meruntuhkan argumen-argumen ahlus sunnah wal jama’ah dalam akidah mereka.



Di antara metode yang dimaksud adalah prinsip bahwa keraguan adalah kebutuhan mutlak ketika menghadapi dalil-dalil dari Al-Qur’an dan hadits. Orang-orang Mu’tazilah mengadaptasi prinsip seperti ini dari filsafat yang dikenalkan oleh Anaxagoras, filosof Yunani yang hidup pada 500 – 428 sM.




Gerak sejarah berubah ketika Abul Hasan Ali bin Ismail Al-Asy’ari (260 – 324 H) muncul ke tengah kaum muslimin. Berusaha mewakili mayoritas kaum muslimin dalam meruntuhkan argumen-argumen Mu’tazilah, Al-Asy’ari justru menawarkan semacam bentuk kompromi antara keyakinan Mu’tazilah dan ahlus sunnah wal jama’ah. (Lihat http://sejarah.kompasiana.com/2011/08/10/mazhab-asy%E2%80%99ari-dalam-rentangan-zaman/)



Dan ia berhasil meruntuhkan argumen-argumen Mu’tazilah dan kelompok-kelompok Islam sempalan lainnya di muka sejarah, pada abad ke-4 Hijriah.



Bagaimana pun, keberhasilan Al-Asy’ari telah lebih dulu menarik perhatian banyak orang di zaman itu. Orang-orang lebih mengenalnya ketimbang Ibnu Kullab yang pernah memengaruhinya. Karena itu, mereka menyebut apa yang dikembangkan Al-Asy’ari sebagai Asy’ariyyah.




Sepeninggal Al-Asy’ari, Asy’ariyyah sebagai sebuah keyakinan menarik perhatian banyak kalangan. Di antara mereka yang patut disebut di sini adalah Abu Bakar Al-Baqillani Al-Maliki, Asy-Syahrastani, Ar-Razi sang dokter, Al-Juwaini, Imam Al-Haramain, Al-Ghazali, Nizhamul Mulk, dan bahkan Sultan Shalahuddin Al-Ayyubi.



Banyak di antara mereka yang justru berperan aktif mengembangkan dan menyempurnakan Asy’ariyyah. Al-Baqillani, misalnya, dikenal dalam sejarah Islam sebagai ahli fikih mazhab Maliki yang pertama kali mengembangkan Asy’ariyah sepeninggal Al-Asy’ari.
Rimbun Natamarga